Renungan Perjuangan:
Jihad Sejati atau Sekadar Kedok?
Cepi Hamdan Rafiq, S.Th.I., M.Pd.
Hari ini, kata jihad sering sekali terdengar. Di panggung-panggung dakwah, di media sosial, bahkan di obrolan ringan, banyak aktivis ormas Islam atau jamaah yang mengaku, “Saya sedang berjihad!” Namun, mari kita jujur: berapa banyak di antara mereka yang lantang bersuara, tetapi sebenarnya goyah ketika diuji dengan kenyataan hidup? Berapa banyak yang terlihat gagah ketika melawan lawan politik atau orang kafir, tapi kalah telak ketika berhadapan dengan syetan dan hawa nafsunya sendiri?
Fakta hari ini membuat kita tercengang. Tidak sedikit para aktivis dakwah yang sebenarnya merasa nyaman dalam “jihad” karena ada keuntungan duniawi: popularitas, posisi, bahkan materi. Namun ketika jihad itu tidak lagi memberi kenyamanan atau justru penuh ujian, keluh kesah muncul, semangat pudar, bahkan sebagian memilih mundur.
Di sinilah pentingnya renungan. Jangan-jangan jihad yang kita banggakan hanyalah slogan kosong, bahkan bisa jadi jihad fi sabiilisysyaithan — jihad di jalan syetan — yang justru menjerumuskan.
Jihad: Totalitas, Bukan Setengah-Setengah
Secara bahasa, jihad berarti mencurahkan segala kemampuan dan kesanggupan. Imam al-Rāghib al-Aṣfahānī mendefinisikan:
الجِهَادُ وَالمُجَاهَدَةُ استِفْرَاغُ الوُسْعِ فِي مُدَافَعَةِ العَدُوِّ
“Jihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk menghadapi musuh.”¹
Musuh itu ada tiga:
- Musuh kafir yang menentang Islam.
- Musuh syetan yang menggoda manusia.
- Musuh hawa nafsu yang melemahkan jiwa.
Allah ﷻ sudah memperingatkan:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. al-Ḥajj: 78).²
Menurut Ibn Kathīr, ayat ini memerintahkan untuk menunaikan seluruh kemampuan dalam jihad, baik dengan hati, ucapan, maupun perbuatan.³
Jihad sejati bukan parsial, bukan setengah hati. Ia adalah totalitas dalam melawan semua musuh: luar maupun dalam.
Jihad: Fi Sabilillah atau Fi Sabiilisysyaithan?
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Barangsiapa berperang agar kalimat Allah yang tertinggi, maka itulah jihad fi sabilillah.”⁴
Imam an-Nawawī menjelaskan bahwa jihad baru disebut fi sabilillah bila niatnya ikhlas untuk meninggikan agama Allah, bukan untuk kepentingan dunia, harta, atau popularitas.⁵
Artinya, jihad bisa saja salah jalur: fi sabiilisysyaithan. Sebab, ada orang yang mengaku jihad, tapi niatnya demi ambisi pribadi, demi materi, atau demi nama besar ormasnya.
Hasan al-Bannā pernah berkata dalam Risālat al-Ta‘līm:
“Jihad adalah kewajiban yang terus berlangsung sampai hari kiamat. Tetapi jihad bukan sekadar peperangan fisik. Ia adalah perjuangan yang tulus menegakkan agama Allah, baik melawan hawa nafsu, syetan, maupun kezaliman.”⁶
Artinya, jihad bisa saja salah jalur: fi sabiilisysyaithan, jika dilakukan demi nafsu dan ambisi pribadi.
Penyakit Aktivis: Nyaman dengan Dunia
Realitanya, banyak aktivis dakwah yang merasa nyaman dengan statusnya sebagai mujahid, tapi kenyamanannya karena ada iming-iming duniawi. Saat dakwah memberi popularitas, materi, atau posisi, ia semangat. Tapi ketika dakwah menuntut pengorbanan, ia mulai mengeluh, lelah, bahkan mundur.
Sayyid Quṭb menulis dalam Fī Ẓilāl al-Qur’ān ketika menafsirkan QS. at-Tawbah: 24:
“Tidak ada jihad tanpa pengorbanan. Barangsiapa lebih mencintai keluarga, harta, dan kesenangan dunia daripada Allah dan Rasul-Nya, maka dia belum layak disebut mujahid.”⁷
Allah ﷻ pun berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا
“Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS. at-Tawbah: 24).⁸
Menurut al-Qurṭubī, ayat ini adalah ujian cinta. Siapa yang lebih mencintai dunia daripada jihad fi sabilillah, maka ia terancam murka Allah.⁹
Jihad Melawan Nafsu: Jihad yang Terlupakan
Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللهِ
“Seorang mujahid adalah yang berjihad melawan dirinya di jalan Allah.”¹⁰
Al-Mubārakfūrī menjelaskan bahwa jihad melawan hawa nafsu adalah jihad paling mendasar, sebab tanpa mengalahkan hawa nafsu, jihad melawan musuh luar tidak akan bernilai.¹¹
Abdullah Azzam menulis:
“Sebelum seseorang berangkat ke medan jihad, ia wajib menundukkan hawa nafsunya. Sebab banyak yang gugur bukan karena peluru musuh, tetapi karena nafsu dunia dan syahwatnya sendiri.”¹²
Penutup Renungan
Jangan-jangan jihad yang kita banggakan hanyalah topeng. Katanya fi sabilillah, tapi sesungguhnya fi sabiilisysyaithan.
Jihad sejati adalah totalitas dalam melawan semua musuh: kafir, syetan, dan hawa nafsu. Ia harus tulus fi sabilillah, tanpa pamrih dunia. Ia menuntut pengorbanan, bukan keuntungan.
Semoga kita tidak termasuk orang yang menyesal di akhirat karena mengira sudah berjihad, padahal ternyata perjuangan kita hanyalah demi diri sendiri.
Allah ﷻ mengingatkan:
وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا
“Dikatakan (kepada mereka): Pada hari ini Kami lupakan kamu, sebagaimana kamu dahulu melupakan pertemuan dengan hari ini.” (QS. al-Jāthiyah: 34).¹³
Mari kita luruskan niat, kuatkan tekad, dan ikhlaskan amal, agar jihad kita benar-benar jihad fi sabilillah.
Catatan Kaki
- Al-Rāghib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān (Damaskus: Dār al-Qalam, 1992), 207.
- Al-Qur’ān al-Karīm, QS. al-Ḥajj: 78.
- Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1998), 241.
- Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 2810; Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 1904.
- Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 13 (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth, 1995), 37.
- Hasan al-Bannā, Risālat al-Ta‘līm (Kairo: Maktabah al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah, 1990), 45.
- Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Juz 10 (Kairo: Dār al-Shurūq, 2002), 180.
- Al-Qur’ān al-Karīm, QS. at-Tawbah: 24.
- Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān, Juz 8 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 112.
- Al-Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī, no. 1621.
- Al-Mubārakfūrī, Tuḥfat al-Aḥwadzī bi Sharḥ Jāmi‘ al-Tirmidhī, Juz 5 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 193.
- Abdullah Azzam, Tarīq al-Jihād (Peshawar: Markaz al-Khidmah, 1984), 67.
- Al-Qur’ān al-Karīm, QS. al-Jāthiyah: 34.
BACA JUGA: Fitnah-Fitnah Akhir Zaman (Part 1)