Tragedi Kiangroke: Saat Hidup Terasa Sempit dan Harapan Hilang

oleh Ismail Fajar Romdhon

09 September 2025 | 07:08

Tragedi Kiangroke: Saat Hidup Terasa Sempit dan Harapan Hilang

Tragedi Kiangroke: Saat Hidup Terasa Sempit dan Harapan Hilang

Cepi Hamdan Rafiq, S.Th.I., M.Pd


Tragedi Kiangroke Mencerminkan Krisis Jiwa


Awal September 2025, warga diguncang oleh kabar tragis dari Kampung Cae, Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Seorang ibu berinisial EN (34) ditemukan tewas gantung diri di kontrakannya, sementara dua anaknya — seorang bocah 9 tahun (AA) dan bayi 11 bulan (AAP) — diduga diracun sebelumnya. Kejadian ini terjadi pada Jumat dini hari, 5 September 2025, ketika sang suami pulang kerja dan mendapati pintu terkunci. Setelah mendobrak, ditemukan secarik surat wasiat yang menggambarkan rasa kelelahan batin yang amat mendalam.1


Dalam laporan media, kasus ini menampilkan kenyataan getir: seorang ibu yang kelelahan secara mental, meninggalkan pesan perpisahan penuh permintaan maaf, sekaligus rasa putus asa karena tekanan ekonomi dan himpitan hidup.2 Bahkan, pihak keluarga menyebutkan ada tanda-tanda kejanggalan yang sempat muncul sebelum tragedi ini benar-benar terjadi.3


Kejadian ini tidak hanya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, tetapi juga mengingatkan masyarakat bahwa kesempitan jiwa bisa mendorong seseorang melakukan hal-hal yang dilarang agama. Oleh karena itu, artikel ini mencoba menyelami akar persoalan secara spiritual menurut Islam—berdasarkan al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama—serta menghadirkan refleksi sosial yang relevan untuk keluarga, masyarakat, dan generasi milenial hari ini.


1. Tafsir Ayat Tentang Kesempitan Jiwa (ḍayyiq al-ṣadr)


Allah ﷻ berfirman:


فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي ٱلسَّمَآءِ ۚ


Maka barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk, Dia lapangkan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa yang Allah kehendaki untuk disesatkan, Dia jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. (QS. al-An‘ām: 125)


Tafsir Ulama


  1. Ibn Kathīr menjelaskan bahwa kelapangan dada adalah tanda iman, kemudahan menerima syariat, serta ketenangan batin dalam beramal. Sedangkan kesempitan dada adalah hukuman bagi orang yang berpaling dari Allah; dadanya terasa buntu seakan-akan terhimpit tanpa jalan keluar.4
  2. Al-Qurṭubī menegaskan bahwa kondisi “sesak lagi sempit” adalah gambaran hati orang kafir atau lalai, mereka hidup penuh kegelisahan, karena kebenaran terasa berat untuk diterima.5


2. Hadis Larangan Putus Asa dari Rahmat Allah


Rasulullah ﷺ bersabda:


لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ


Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian mengharap kematian karena musibah yang menimpanya. (HR. Bukhārī no. 5671, Muslim no. 2680)


Tafsir Ulama


  1. Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menafsirkan hadis ini dalam Fatḥ al-Bārī: larangan berharap mati karena ujian hidup dimaksudkan agar manusia tidak tergelincir dalam putus asa. Hidup adalah ladang amal; sekalipun berat, selama hayat masih ada, kesempatan untuk bertobat dan berbuat baik tetap terbuka.6
  2. Imam al-Nawawī dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim menjelaskan bahwa diperbolehkan berdoa agar diberi “khusnul khatimah” bila memang hidup sudah tak tertahankan, tetapi bukan dengan cara mengharapkan mati secara langsung.7


3. Pandangan Ulama tentang Akar Kesempitan Jiwa


  1. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah: Kesempitan jiwa disebabkan oleh jarang mendekat kepada Allah, dosa yang menumpuk, cinta dunia yang berlebihan, dan kurangnya dzikir.8
  2. Al-Ghazālī: Cinta dunia dan takut mati memicu putus asa ketika diuji; hati yang terpaut dunia rapuh saat segala perlindungan dunia hilang.9
  3. Ibn Taymiyyah: Hati yang kosong dari dzikir akan diliputi kegelisahan dan kebingungan, seolah-olah hidup tanpa arah.10


4. Akar Persoalan dalam Kasus Kiangroke


a. Jauh dari iman dan dzikir kepada Allah


“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Ṭāhā: 124)


Tafsir: Menurut Ibn Kathīr, ayat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang berpaling dari al-Qur’an dan sunnah akan hidup dengan hati yang sempit, penuh kesulitan, meski lahiriah tampak memiliki segalanya.11


b. Putus asa dari rahmat Allah


“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. az-Zumar: 53)


Tafsir: Al-Qurṭubī menyebut ayat ini sebagai “ayat paling penuh harapan” dalam al-Qur’an, karena membuka pintu ampunan selebar-lebarnya. Putus asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar.12


5. Solusi Spiritual Menurut Islam


a. Menguatkan iman dan berdzikir


“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28)


Tafsir: Ibn Kathīr menegaskan bahwa dzikrullah adalah sumber ketenangan hati. Jiwa manusia tidak akan tenang dengan harta, kedudukan, atau dunia, tetapi hanya dengan mengingat Allah secara konsisten.13


b. Menjadikan shalat sebagai penolong


“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45)


Tafsir: Menurut al-Ṭabarī, perintah ini mengajarkan bahwa sabar dan shalat adalah sarana meraih pertolongan Allah. Shalat yang khusyuk bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga melahirkan kekuatan jiwa untuk menghadapi kesulitan hidup.14


c. Bertobat, bersyukur, dan mencari solusi syar‘i


Ujian hidup dapat menjadi jalan menuju ampunan Allah jika dihadapi dengan taubat, rasa syukur, dan ikhtiar yang benar. Rasulullah ﷺ mengajarkan umatnya untuk bermusyawarah, mencari nasihat dari ulama, bahkan bantuan medis atau psikolog, selama tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:

Allah tidaklah menurunkan suatu penyakit kecuali Dia menurunkan pula obatnya. (HR. Bukhārī no. 5678)


Hadis ini menjadi dasar bahwa segala bentuk krisis, baik fisik maupun mental, pasti ada jalan keluarnya yang halal dan diridhai Allah.15


6. Peran Keluarga, Masyarakat, dan Pemerintah


Tragedi Kiangroke menunjukkan bahwa krisis jiwa bukan hanya persoalan individu, tetapi juga hasil dari lemahnya sistem dukungan sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk mencegah kasus serupa.


a. Suami dan Keluarga Terdekat

Suami memiliki peran sebagai penopang utama, baik emosional, finansial, maupun spiritual. Studi menegaskan bahwa keluarga adalah fondasi kesehatan mental; mereka perlu memberikan ruang aman untuk berbagi, mendampingi, dan menciptakan komunikasi yang sehat.16


b. Saudara dan Tetangga


Lingkungan sekitar harus peka terhadap tanda-tanda tekanan mental. Dukungan sederhana seperti mendengarkan, membantu secara praktis, atau mendorong mencari pertolongan bisa menjadi penyelamat. Penelitian menyebutkan bahwa di masyarakat Indonesia, keluarga dan komunitas seringkali menjadi rujukan pertama sebelum seseorang mencari bantuan medis.17


  1. Masyarakat
  2. Budaya peduli dan gotong royong adalah ciri khas bangsa Indonesia yang perlu dihidupkan kembali. Model layanan kesehatan mental berbasis komunitas—termasuk lembaga pendidikan dan pesantren—terbukti efektif membantu orang yang mengalami tekanan jiwa.18
  3. Pemerintah


Negara memiliki tanggung jawab menyediakan akses kesehatan mental yang terjangkau, layanan konseling keluarga, serta program bantuan sosial. Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa keluarga dan masyarakat harus diperkuat melalui edukasi, sementara pemerintah menyediakan payung kebijakan dan fasilitas.19

Dengan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah, beban hidup berat seperti yang dialami korban di Kiangroke dapat ditangani lebih awal. Dukungan sosial yang kuat adalah benteng agar seseorang tidak jatuh ke jurang keputusasaan.


Penutup


فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا ۝ إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا (QS. al-Insyirāḥ: 5–6)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Tafsir: Ibn Kathīr menegaskan bahwa setiap kesulitan pasti disertai dengan dua kemudahan, sehingga mustahil kesulitan mengalahkan rahmat Allah.


Tragedi Kiangroke harus menjadi alarm bagi masyarakat. Bukan hanya individu yang diuji, tetapi seluruh sistem sosial—keluarga, tetangga, masyarakat, hingga pemerintah—yang harus hadir bersama. Hanya dengan iman, dzikir, dan dukungan sosial yang kuat, umat dapat menghindari jurang keputusasaan dan menemukan cahaya harapan.


Catatan Kaki


  1. “Ibu di Bandung Ditemukan Tewas Tergantung, 2 Anaknya Diduga Diracun,” Detiknews, 6 September 2025, https://news.detik.com/berita/d-8098706/ibu-di-bandung-ditemukan-tewas-tergantung-2-anaknya-diduga-diracun.
  2. “Ibu di Bandung yang Tewas Gantung Diri dan Racuni 2 Anak Tinggalkan Wasiat,” Detiknews, 6 September 2025, https://news.detik.com/berita/d-8098885/ibu-di-bandung-yang-tewas-gantung-diri-dan-racuni-2-anak-tinggalkan-wasiat.
  3. “Kasus Ibu Gantung Diri di Banjaran, Suami Temukan Kejanggalan Sebelum Tahu Istri dan 2 Anaknya Tewas,” PRFM News, 6 September 2025, https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-139628155/kasus-ibu-gantung-diri-di-banjaran-suami-temukan-kejanggalan-sebelum-tahu-istri-dan-2-anaknya-tewas.
  4. Ismā‘īl ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, juz 2 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 225.
  5. Abū ‘Abdullāh al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, juz 7 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 152.
  6. Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, juz 10 (Riyadh: Dār al-Salām, 2001), 116.
  7. Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, al-Minhāj Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim ibn al-Ḥajjāj, juz 17 (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1392 H), 27.
  8. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān, juz 1 (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2005), 136–139.
  9. Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, juz 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1998), 55–57.
  10. Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, juz 10 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2004), 646.
  11. Ismā‘īl ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, juz 5 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 323.
  12. Abū ‘Abdullāh al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, juz 15 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 297.
  13. Ismā‘īl ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, juz 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 373.
  14. Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, juz 1 (Kairo: Dār Hajar, 2001), 356.
  15. Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Ṭibb, Bāb mā anzala Allāh dā’an illā anzala lahu shifā’an, no. 5678 (Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H), 7:116.
  16. “Pentingnya Peran Keluarga, Institusi, dan Masyarakat Kendalikan Gangguan Kesehatan Jiwa,” Kementerian Kesehatan RI, diakses 8 September 2025, https://kemkes.go.id/id/pentingnya-peran-keluarga-institusi-dan-masyarakat-kendalikan-gangguan-kesehatan-jiwa.
  17. Yayi Suryo Prabandari et al., “Mental Health Services in Indonesia: Cultural and Religious Influences,” National Center for Biotechnology Information, 2023, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11906414.
  18. Moh. Fajaruddin, “Model Layanan Kesehatan Mental Berbasis Komunitas di Pesantren,” Semantics Scholar, 2022, https://pdfs.semanticscholar.org/5bad/b09a7184c2603f0863e43117526ae05a1625.pdf.
  19. Dwi Fitriani, “Peran Pemerintah Terhadap Kesehatan Mental Masyarakat di Era Modern,” ResearchGate, 2024, https://www.researchgate.net/publication/383130248_Peran_Pemerintah_Terhadap_Kesehatan_Mental_Masyarakat_Di_Era_Modern.


BACA JUGA:

Merdeka dari Hawa Nafsu, Manfaatkan Waktu untuk Ketaatan kepada Allah