HARI SANTRI DAN PARADIGMA ILMUAN-ULAMA
Bidang Pendidikan dan Dakwah PP IPP
Pendahuluan
Hari Santri Nasional, yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, tidak hanya menjadi momen seremonial bagi kalangan pesantren, tetapi juga ruang refleksi tentang posisi santri dalam dinamika keilmuan dan kebangsaan. Peringatan ini berakar pada sejarah perjuangan Resolusi Jihad yang digelorakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945 sebagai bentuk pembelaan terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun lebih dari sekadar sejarah, Hari Santri kini mengandung makna epistemologis yang mendalam: bagaimana santri memaknai ilmu sebagai jalan pengabdian dan pembentukan akhlak di tengah tantangan modernitas yang sarat dengan krisis nilai dan adab keilmuan.[1]
Dalam konteks tersebut, persoalan utama yang muncul adalah adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia dalam sistem pendidikan Islam. Banyak lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren modern yang masih belum mampu mengintegrasikan antara dimensi wahyu dan nalar secara utuh. Hal ini mengakibatkan terjadinya krisis epistemologis, di mana ilmu sering kali kehilangan orientasi spiritualnya dan hanya menjadi instrumen pragmatis semata.[2] Kajian Omar misalnya, menegaskan bahwa fenomena tersebut merupakan dampak dari model pendidikan sekuler yang memisahkan sumber pengetahuan dari nilai,nilai ketuhanan, sehingga muncul kebutuhan untuk mengembangkan paradigma “islamisasi ilmu pengetahuan” sebagai respons terhadap krisis ini.[3]
Persatuan Islam (Persis) menawarkan satu alternatif paradigma keilmuan yang menarik untuk dikaji, karena sejak awal berdirinya organisasi ini telah berupaya membangun tradisi berpikir ilmiah yang berpijak pada wahyu dan rasionalitas. Dalam tradisi Persis, sosok KH. Ahmad Hassan menempati posisi sentral sebagai prototipe ulama,ilmuwan yang berusaha menggabungkan ketajaman teks keagamaan dengan metode berpikir logis dan kritis.[4] Ia tidak hanya dikenal sebagai ahli fikih dan tafsir, tetapi juga sebagai pembaharu pemikiran Islam yang berani menggunakan pendekatan rasional dalam menjawab problem masyarakat modern. Oleh karena itu, KH. Ahmad Hassan dapat dilihat sebagai representasi nyata dari paradigma “ilmuwan,ulama” dalam konteks keindonesiaan, seorang santri yang menjadi ulama, dan seorang ulama yang berperan sebagai intelektual publik.
Melalui warisan keilmuan KH. Ahmad Hassan, tradisi Persis kemudian menurunkan semangat ilmiah tersebut ke dalam ranah pelajar melalui wadah Ikatan Pelajar Persis (IPP). Organisasi ini berperan sebagai ruang kaderisasi intelektual yang berupaya mengintegrasikan nilai tauhid, rasionalitas, dan etos belajar. Dalam konteks Hari Santri, keberadaan IPP menjadi penting karena ia menegaskan bahwa santri tidak terbatas pada mereka yang tinggal di pesantren, tetapi mencakup semua pelajar muslim yang meneladani adab dan paradigma keilmuan Islam. Santri modern harus mampu membawa nilai,nilai pesantren ke ruang akademik, riset, dan masyarakat digital tanpa kehilangan orientasi spiritual.
Dengan demikian, esai ini berangkat dari refleksi bahwa Hari Santri seharusnya dimaknai sebagai momentum reaktualisasi paradigma ilmuwan,ulama dalam tradisi Persis. Paradigma ini tidak hanya berfungsi sebagai kerangka berpikir religius, tetapi juga sebagai etos ilmiah yang menuntun santri untuk berpikir kritis, beradab, dan berkomitmen terhadap kebenaran. Santri masa kini perlu meneladani warisan keilmuan KH. Ahmad Hassan sebagai jalan menuju keutuhan antara ilmu dan iman, serta menjadikan proses belajar sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada masyarakat.
Pembahasan
Paradigma keulamaan yang berkembang dalam tradisi Ikatan Pelajar Persis (IPP) memiliki corak yang khas dibandingkan tradisi pesantren pada umumnya. Di Persis, seorang ulama tidak hanya dimaknai sebagai pewaris ajaran agama, tetapi juga sebagai ilmuwan yang berpikir sistematis dan memiliki kepekaan terhadap persoalan sosial. IPP memandang bahwa tafaqquh fi al-din tidak cukup berhenti pada penguasaan kitab, melainkan harus dilanjutkan dengan proses rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah masyarakat modern.[5]
Perspektif ini menghindari dikotomi antara ulama dan ilmuwan yang sering muncul dalam sejarah Islam modern. IPP berupaya menegaskan bahwa ilmuwan sejati adalah ulama yang memiliki tanggung jawab moral, sementara ulama sejati adalah ilmuwan yang bekerja dengan metodologi dan nalar kritis. Dengan cara pandang tersebut, IPP membentuk paradigma keilmuan yang berakar pada wahyu tetapi berpijak pada rasionalitas dan empirisme. Prinsip ini menjadi landasan intelektual bagi kader IPP dalam mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal dalam satu kesatuan epistemik.
Dalam tradisi Persis, ilmu bukan sekadar sarana untuk memperoleh status sosial atau legitimasi keagamaan, tetapi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan dan pencerahan umat. Abdul Basits menyebut tradisi seperti ini sebagai reproduksi salafiyah ideologis yakni sebuah gerakan untuk menghidupkan kembali semangat purifikasi Islam dengan nalar modern dan metodologi ilmiah.[6] Paradigma ini kemudian diwarisi IPP sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan pelajar Muslim yang progresif.
Sosok A. Hasan dapat dianggap sebagai figur prototipe ulama-ilmuwan dalam tradisi Persis. Ia bukan hanya pengajar agama, tetapi juga pembaharu pemikiran Islam yang memadukan nalar rasional dengan kesetiaan terhadap teks. Howard Federspiel menggambarkan A. Hasan sebagai ulama yang membawa tradisi keilmuan Islam menuju arah yang lebih argumentatif dan metodologis, berbeda dari pendekatan dogmatis yang berkembang pada zamannya.[7] Dalam karya-karyanya seperti Tafsir Al-Furqan dan Soal Jawab Agama, A. Hasan menampilkan cara berpikir yang menguji setiap dalil, mempertimbangkan konteks sosial, serta membangun argumen dengan pendekatan tekstual dan rasional.
Keilmuan A. Hasan menunjukkan karakter ijtihadiyah yang kuat, yakni keberanian untuk berpikir mandiri tanpa terikat pada otoritas mazhab tertentu. Sikap ini menjadi dasar bagi IPP dalam membangun nalar kritis kadernya. Menurut A. Syafiq Mughni, pembaruan pemikiran Islam yang dilakukan A. Hasan tidak hanya terjadi di level teologis, tetapi juga epistemologis, yakni bagaimana ilmu Islam dapat diproduksi, diuji, dan dikembangkan secara sistematis.[8] Oleh karena itu, dalam perspektif IPP, A. Hasan bukan hanya tokoh sejarah, melainkan juga model konseptual tentang bagaimana ulama harus berpikir dan beramal dalam konteks modernitas.
Lebih jauh, figur A. Hasan juga menjadi simbol kesatuan antara ilmu dan dakwah. Ia menunjukkan bahwa ulama tidak boleh berhenti di ruang teoritik, tetapi harus menjadi pelaku perubahan sosial. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan, perempuan, dan masyarakat madani menegaskan bahwa ulama sejati adalah mereka yang mampu menerjemahkan teks agama ke dalam konteks sosial yang hidup.[9] Dengan demikian, paradigma ulama-ilmuwan ala A. Hasan bukan hanya wacana intelektual, tetapi juga praksis sosial yang mengakar dalam realitas umat.
Refleksi Hari Santri dalam konteks IPP perlu diarahkan pada pewarisan etos ilmiah dan moral sebagaimana diwariskan oleh A. Hasan dan generasi awal Persis. Hari Santri bukan hanya momentum seremonial, melainkan kesempatan untuk menegaskan kembali posisi santri sebagai agen keilmuan dan peradaban. Dalam konteks modern, santri diharapkan mampu menjadi jembatan antara dunia pesantren, kampus, dan masyarakat luas sebuah peran yang dahulu diperankan A. Hasan dengan cemerlang.
Jihad santri masa kini tidak lagi berbentuk fisik sebagaimana Resolusi Jihad 1945, tetapi mengambil bentuk jihad ilmiah yakni perjuangan melawan kebodohan, hegemoni pemikiran, dan krisis moral melalui pengembangan ilmu pengetahuan berbasis nilai-nilai Islam. Dadan Saefuddin menyebut jihad ilmiah ini sebagai upaya santri untuk meneguhkan nalar Qur’ani di tengah dominasi nalar sekuler.[10] Paradigma ilmuwan-ulama IPP dengan demikian menjadi fondasi penting bagi santri modern dalam menjawab tantangan zaman disrupsi dan banjir informasi.
Dalam situasi sosial yang penuh distraksi moral dan intelektual, peran santri sebagai penjaga akal sehat publik menjadi sangat strategis. Mereka dituntut untuk menghadirkan nilai-nilai adab, keilmuan, dan integritas di ruang publik. Relevansi nilai keulamaan di era disrupsi bergantung pada kemampuan santri memadukan ilmu, etika, dan keberanian moral. Dengan demikian, Hari Santri dapat dimaknai sebagai panggilan untuk melanjutkan warisan intelektual A. Hasan dalam bentuk praksis keilmuan yang kontekstual dan berkarakter profetik.
Penutup
Refleksi terhadap Hari Santri melalui paradigma ilmuwan-ulama yang diwariskan Ikatan Pelajar Persis (IPP) mengantarkan kita pada kesadaran bahwa keulamaan tidak berhenti pada dimensi spiritual dan moral semata, tetapi juga mencakup dimensi epistemologis dan sosial. Dalam tradisi IPP, ulama tidak hanya menjadi penjaga ajaran, tetapi juga penggerak perubahan yang berlandaskan ilmu. Paradigma ini menegaskan bahwa santri sejati adalah mereka yang berpikir, meneliti, dan berdialog dengan realitas sambil tetap menjaga otentisitas nilai-nilai wahyu. Dengan demikian, Hari Santri dapat dimaknai sebagai momentum untuk meneguhkan kembali pentingnya integrasi antara iman dan ilmu dalam membentuk peradaban Islam modern.
Sosok A. Hasan sebagai prototipe ulama Persis memberikan teladan konkret mengenai bagaimana ulama dapat menjadi ilmuwan tanpa kehilangan kedalaman spiritualnya. Ia menunjukkan bahwa rasionalitas dan religiositas bukan dua kutub yang bertentangan, tetapi dua sisi dari mata uang yang sama. Pemikiran dan metodologi A. Hasan mengajarkan bahwa keulamaan sejati lahir dari keberanian berpikir dan kesetiaan terhadap kebenaran. Dalam konteks santri masa kini, teladan ini menjadi sangat relevan ketika ilmu pengetahuan kerap dipisahkan dari nilai moral dan kemanusiaan.
________________________
[1] Neuis Marpuah, ‘Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Peringatan Hari Santri’, Islamic Journal of Education, 1.1 (2022), pp. 58–66, doi:10.54801/ijed.v1i1.75.
[2] Anwar Mujahidin, ‘Epistemologi Islam: Kedudukan Wahyu sebagai Sumber Ilmu’, Ulumuna, 17.1 (2017), pp. 41–64, doi:10.20414/ujis.v17i1.171.
[3] Mohd Nasir Omar, Gagasan Islamisasi ilmu (Utusan Publications, 2005).
[4] Abdurrahman Dudung, PEMIKIRAN ISLAM MURNI AHMAD HASSAN (Ide Press, 2019), pp. 77–100 <https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40476/> [accessed 22 October 2025].
[5] Khodijah Zuhro A. Batubara, Haidar Putra Daulay, and Zaini Dahlan, PERADABAN DAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA | Jurnal Bilqolam Pendidikan Islam, n.d. <https://www.jurnal.staiserdanglubukpakam.ac.id/index.php/bilqolam/article/view/58> [accessed 22 October 2025].
[6] Muhammad Fuad Zain and Abdul Basit, ‘Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia’, El-Aqwal : Journal of Sharia and Comparative Law, 22 November 2024, pp. 167–82, doi:10.24090/el-aqwal.v3i2.12589.
[7] Howard M. Federspiel, Yudian W. Asmin, and H. Afandi Mochtar, Persatuan Islam : Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Gadjah Mada University Press, 1996) <https://cir.nii.ac.jp/crid/1970586434845304337> [accessed 22 October 2025].
[8] ‘Ahmad Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam Di Indonesia | PDF | Agama & Spiritualitas’, n.d. <https://id.scribd.com/doc/316283801/Ahmad-Hassan-dalam-Arus-Pemikiran-Islam-di-Indonesia> [accessed 22 October 2025].
[9] ‘Ahmad Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam Di Indonesia | PDF | Agama & Spiritualitas’.
[10] ‘Jihad Intelektual A.M. Saefuddin’, n.d. <https://laznasdewandakwah.or.id/ebook/13> [accessed 22 October 2025].
Referensi
‘Ahmad Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam Di Indonesia | PDF | Agama & Spiritualitas’, n.d. <https://id.scribd.com/doc/316283801/Ahmad-Hassan-dalam-Arus-Pemikiran-Islam-di-Indonesia> [accessed 22 October 2025]
Batubara, Khodijah Zuhro A., Haidar Putra Daulay, and Zaini Dahlan, PERADABAN DAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA | Jurnal Bilqolam Pendidikan Islam, n.d. <https://www.jurnal.staiserdanglubukpakam.ac.id/index.php/bilqolam/article/view/58> [accessed 22 October 2025]
Dudung, Abdurrahman, PEMIKIRAN ISLAM MURNI AHMAD HASSAN (Ide Press, 2019), pp. 77–100 <https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/40476/> [accessed 22 October 2025]
Federspiel, Howard M., Yudian W. Asmin, and H. Afandi Mochtar, Persatuan Islam : Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Gadjah Mada University Press, 1996) <https://cir.nii.ac.jp/crid/1970586434845304337> [accessed 22 October 2025]
‘Jihad Intelektual A.M. Saefuddin’, n.d. <https://laznasdewandakwah.or.id/ebook/13> [accessed 22 October 2025]
Marpuah, Neuis, ‘Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Peringatan Hari Santri’, Islamic Journal of Education, 1.1 (2022), pp. 58–66, doi:10.54801/ijed.v1i1.75
Mujahidin, Anwar, ‘Epistemologi Islam: Kedudukan Wahyu sebagai Sumber Ilmu’, Ulumuna, 17.1 (2017), pp. 41–64, doi:10.20414/ujis.v17i1.171
Omar, Mohd Nasir, Gagasan Islamisasi ilmu (Utusan Publications, 2005)
Zain, Muhammad Fuad, and Abdul Basit, ‘Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia’, El-Aqwal : Journal of Sharia and Comparative Law, 22 November 2024, pp. 167–82, doi:10.24090/el-aqwal.v3i2.12589
BACA JUGA:Santri PERSIS Mendaki Puncak Gunung Sinai